JAKARTA – Ketua Dewan Pers, Prof. Komarudin Hidayat, menyampaikan pesan penting dalam acara silaturahmi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Meski baru tiga bulan menjabat, ia mengaku mulai akrab dengan dinamika organisasi wartawan terbesar di Indonesia tersebut, termasuk kisah dualisme kepemimpinan yang sempat mencuat.
“Kalau kembar bisa saja semakin terang, tapi kalau bertabrakan justru tidak akan memancarkan sinar ke mana-mana,” kata Prof. Komarudin, disambut tawa dan tepuk tangan peserta, sabtu(30/8/2025).
Dalam sambutannya, ia menegaskan bahwa PWI memiliki posisi istimewa di mata publik. Bahkan, menurutnya, PWI seringkali lebih dikenal masyarakat dibandingkan Dewan Pers.
“Kalau dianalogikan, PWI itu ormas besar, mirip NU atau Muhammadiyah. Kalau dianalogikan partai, PWI adalah partai besar. Kadang masyarakat lebih mengenal PWI daripada Dewan Pers,” ujarnya.
Prof. Komarudin juga mengingatkan peran vital pers sejak masa perjuangan kemerdekaan Indonesia. Ia menyebut kekuatan berita dan informasi dari wartawan kala itu turut menentukan arah sejarah bangsa.
“Kalau saat itu berita para wartawan tidak kuat, mungkin nasib bangsa ini masih ditentukan oleh sekutu,” tambahnya.
Menurutnya, wartawan memiliki tanggung jawab besar dalam menjaga otentisitas informasi. Ia mengaitkan peran jurnalis dengan juru berita dalam tradisi agama.
“Dalam bahasa Arab, Nabi berarti juru berita, pembawa pesan otentik dari Tuhan. Tapi ada juga nabi palsu yang menyampaikan berita hoaks. Begitu juga pers, harus menjaga otentisitas berita,” tegasnya.
Ia menekankan, kebutuhan manusia terhadap informasi kini sama pentingnya dengan kebutuhan makan dan minum. Namun, informasi yang salah bisa lebih berbahaya.
“Kalau kita makan tidak sehat, tubuh jadi sakit. Begitu juga ketika menerima informasi yang salah, masyarakat bisa ‘sakit’. Dan tanggung jawab wartawan dalam hal ini sungguh besar,” jelasnya.
Prof. Komarudin juga menilai bahwa peran pers sangat besar dalam menjaga keutuhan bangsa. Meski Indonesia kerap diprediksi bubar seperti Yugoslavia atau Uni Soviet, faktanya bangsa ini tetap bertahan.
“Pers punya peran dalam menjaga persatuan. Inilah panggilan moral bagi wartawan untuk terus menjaga NKRI,” pesannya.
Menutup sambutannya, Ketua Dewan Pers mengajak insan pers melihat konflik internal yang pernah melanda PWI sebagai bagian dari sejarah yang tak perlu diulang.
“Anggap saja itu keisengan sejarah. Ke depan mari kita satukan barisan. Tugas pers bukan sekadar menulis berita, tapi membangun peradaban. Dan PWI harus berada di depan,” pungkasnya.