Daerah

Tak Pernah Puas

×

Tak Pernah Puas

Sebarkan artikel ini

Dulu, ia datang membawa sumpah. Suaranya lantang, dada dibusungkan oleh keyakinan, matanya berbinar seperti pagi yang belum tercemar.

Ia berkata akan mengayomi, menyiram keadilan ke ladang-ladang kering oleh kezaliman. Ia bersumpah di bawah langit, disaksikan berjuta harap, bahwa jabatan bukanlah takhta, melainkan titipan.

Namun waktu mengalir seperti arus sungai yang membawa sampah ambisi. Kini, tinggal gema di ujung pena. Suaranya masih terdengar sayup, tapi maknanya hampa, seperti genderang perang tanpa musuh. Di balik meja berkaki gading, ia sibuk mencatat angka, laksana dewa yang mengatur takdir.

Bukan lagi berjalan di atas sumpah, ia kini melayang di awan kepentingan. Tangan yang dulu menggenggam keadilan, kini menorehkan tanda demi pundi-pundi.

Kaki yang pernah menjejak bumi, telah bergeser ke karpet merah bentangan para penjilat. Jabatan tak lagi sarana pengabdian, melainkan tangga menuju singgasana—semakin tinggi, semakin jauh dari suara akar rumput.

Keserakahan tumbuh perlahan, seperti jamur di dinding istana. Tak cukup satu, ia renggut yang lain. Tak puas, ia bentuk kroni, ciptakan dinasti kecil. Lingkarannya bukan dari yang unggul, tapi dari yang paling tunduk. Kejujuran disingkirkan, meritokrasi dicibir, kebenaran dikurung dalam lemari besi, dikunci rapat oleh kepentingan.

Kini, rekeningnya membengkak? Rakyat hanyalah latar. Ia datang hanya saat butuh, lalu menghilang. Ia memangsa, seperti serigala lapar yang tertawa di balik baju mahal dan dasi sutra.

Namun jabatan, seperti api, tak pernah setia. Ia bisa menghangatkan dan juga membakar. Mereka yang mabuk kuasa dan harta, cepat atau lambat, terpeleset oleh ambisinya sendiri. Tinggal menunggu waktu hingga topeng tanggal, dan wajah sejati disorot terang oleh sejarah.

Dan ketika saat itu tiba—rakyat takkan lupa. Mereka mungkin diam, tampak sabar, tapi menyimpan ingatan dalam-dalam. Karena sejarah punya caranya sendiri membalas: mencatat dengan tinta luka, mengukir dengan nurani.

Sungguh, manusia yang tak kenal cukup adalah duri bagi bangsanya. Ia menggali lubang untuk sesama, lalu terjerembab sendiri. Dan ketika tenggelam dalam kubangan kerakusan, barulah ia sadar:

Jabatan yang ia genggam rakus tak mampu membeli sepotong damai, saat suara rakyat menggema seperti badai yang tak terelakkan, dan penuh murka. ***

Catatan Pinggir R. Yoga Ari Diskara

Penulis Tinggal Di Kota Arga makmur Bengkulu Utara

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *